
Tanggal 30 Apr 2025

Jam: 00:48:18

Total pengunjung: 436
XtScript Error: Timeout.

Belakangan kata cathinone ramai diperbincangkan masyarakat pasca penangkapan artis Raffi Ahmad Cs. Presenter acara musik di salah satu stasiun televisi swasta itu terbukti mengonsumsi zat narkotika jenis baru. Zat tersebut belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan Napza BPOM Antonia Retno Tyas Utami, cathinone tidak termasuk golongan obat-obatan dan narkotika dengan efek terapi.
Cathinone sama sekali belum pernah diuji klinis sebagai obat di seluruh dunia. "Jadi BPOM tidak punya wewenang untuk mengawasi," katanya saat dihubungi Selasa (29/1).
Bahwa cathinone tidak memiliki efek terapi juga diamini Kepala BPOM Lucky S Slamet. Menurut Kepala BPOM, cathinone merupakan zat baru psikotropika yang diekstrak dari tumbuhan catha edulis yang banyak ditemukan di negara pecahan Uni Soviet, Azerbaizan.
"Zat ini memberikan efek samping seperti perasaan senang luar biasa (euforia), hilang nafsu makan dan halusinasi," jelas Lucky.
Retno menambahkan, tanpa melihat secara langsung BPOM sulit untuk menentukan bahwa zat yang dimaksud oleh BNN adalah benar-benar cathinone.
Menurut dia, di dalam dunia narkotika ada molekul sejenis cathinone yang bernama katinona. Zat katinona satu keluarga dengan ekstasi dan memberikan efek halusinasi senang dan tubuh tidak mudah lelah. "Kalau zat katinona, sudah termasuk sebagai jenis narkotika dalam UU Psikotropika," ujarnya.
Retno menyatakan BPOM memang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan pada zat narkotika. Tapi dia menggarisbawahi bahwa narkotika yang diawasi dan diberi izin edar harus yang memiliki efek terapi pengobatan.
Contoh narkotika yang memiliki efek terapi adalah morphin. Untuk peredaran, BPOM memberi nomor registrasi edar, aturan dosis dan siapa yang bisa memberikan. Cathinone sendiri hingga saat ini diketahui tidak memiliki efek terapi.
Karena itu, BPOM bersedia diajak bekerja sama dengan BNN untuk melakukan uji laboratorium terhadap narkotika yang diduga jenis baru tersebut.
Pada kesempatan berbeda, psikiater Dadang Hawari menegaskan bahwa petugas BNN tidak perlu ragu memproses secara hukum Raffi Ahmad dan kawan-kawan kalau terbukti mengonsumsi zat adiktif walau katagori zat belum masuk dalam UU Psikotropika.
"Yang terpenting zat itu memiliki sifat yang sama dengan narkotika, yaitu bersifat adiktif dan merusak tubuh," tandasnya.
Cathinone menjadi perbincangan setelah tujuh orang ditahan usai penggerebekan di rumah seorang artis di Jakarta Selatan. Dua orang di antaranya terindikasi mengonsumsi derivat dari cathinone, yakni 3,4- methylenedioxy-N-methylcathinone. Zat sintetis itu juga dikenal sebagai methylone.
Cathinone, S(-)-alpha-aminopropiophenone, merupakan zat yang konfigurasi kimia dan efeknya mirip dengan amfetamin. Demikian laporan Kalix P dari Fakultas Farmakologi, Universitas Geneva, Swiss, dalam publikasi Pharmacology and Toxicology, edisi Februari 1992.
Secara alami cathinone terkandung dalam khat (Catha edulis Forsk), tumbuhan semak yang banyak terdapat di Afrika timur dan tengah serta sebagian Jazirah Arabia. Daun khat sejak dulu dikonsumsi dengan cara dikunyah, dibuat jus, atau diseduh seperti teh oleh penduduk di wilayah itu.
Adapun cathinone sintetis, sebagaimana disebut dalam situs European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction (EMCDDA), berbentuk serbuk kristal putih atau kecoklatan, kadang-kadang dikemas dalam kapsul. Zat itu juga ditemui dalam bentuk tablet sebagai pengganti pil ekstasi. Cara penggunaan biasanya dihirup, ditelan, atau disuntikkan setelah dicampur air.
Di banyak negara, khat bukan barang terlarang meski penggunaannya dikontrol di beberapa negara Eropa. Adapun cathinone dimasukkan sebagai golongan I Konvensi PPB untuk Zat-zat Psikotropika Tahun 1971. Cathine yang juga terdapat dalam khat masuk golongan III, sedangkan cathinone sintetis, yakni amfepramone dan pyrovalerone masuk golongan IV konvensi itu.
Cathinone yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai katinona tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada daftar narkotika golongan I.
Stimulan
Al Bachri Husein, pengajar di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto Mangunkusumo, yang dihubungi pada Selasa (29/1/2013) menyatakan, sejak tiga tahun atau empat tahun lalu ia sudah menangani gejala klinis akibat cathinone. Artinya, zat itu sudah lama ada di Indonesia.
”Cathinone merupakan zat stimulan untuk sistem saraf pusat yang banyak digunakan sebagai club drug atau party drug,” katanya.
Menurut Al Bachri, zat yang dibuat di laboratorium klandestin itu digunakan untuk ”membuat orang senang menjadi lebih senang”. Yang dirangsang adalah ujung- ujung saraf.
Efek mirip amfetamin itu menimbulkan rasa gembira, meningkatkan tekanan darah, kewaspadaan, serta gairah seksual. Namun, hal itu bisa diikuti dengan depresi, mudah terganggu, anoreksia, dan kesulitan tidur.
Semula, demikian EMCDDA, cathinone sintetis digunakan sebagai obat. Amfepramone dan pyrovalerone digunakan sebagai obat pengurang nafsu makan. Adapun bupropion yang bersifat antidepresan digunakan untuk orang yang ingin berhenti merokok.
Namun, sejak pertengahan tahun 2000-an, derivat cathinone ilegal beredar di pasar zat rekreasi di Eropa. Zat yang banyak ditemukan adalah mephedrone dan methylone. Methylone digolongkan sebagai zat yang dikontrol di Denmark, Irlandia, Romania, dan Swedia, bersama sejumlah derivat cathinone lain. Jenis-jenis cathinone sintetis makin banyak beredar mulai tahun 2009.
Merusak kesehatan
Laporan mengenai keracunan dan bahaya bagi kesehatan akibat penggunaan cathinone sintetis menyebabkan zat tersebut menjadi isu kesehatan masyarakat dan keamanan yang serius di Amerika Serikat.
Dalam situs National Institute on Drug Abuse dilaporkan, efek cathinone mirip amfetamin dan kokain. Zat itu merangsang peningkatan kadar neurotransmitter (zat pengantar impuls saraf) dopamin yang menimbulkan rasa gembira dan meningkatkan tenaga. Efek lain adalah peningkatan kadar norepinefrin meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Namun, pengguna bisa mengalami halusinasi akibat peningkatan kadar serotonin. Akibat buruk lain adalah dehidrasi, kerusakan jaringan otot, dan gagal ginjal yang berujung pada kematian.
”Penggunaan cathinone dalam jangka lama dan berlebihan menyebabkan kerusakan sel otak. Akibatnya, orang menjadi paranoid dan berhalusinasi. Gejala yang lebih ringan, pengguna merasa lemas jika tidak mengonsumsi,” kata Al Bachri.
Psikiater Danardi Sosrosumihardjo menyatakan, cathinone sintetis bukan diekstrak dari daun khat, melainkan disusun dari zat-zat prekursor.
Jika cathinone alami merupakan stimulan potensi rendah, bahkan lebih ringan dari alkohol dan tembakau, tidak demikian dengan zat sintetisnya. ”Tujuan pembuatan sintetis dari cathinone adalah memperkuat efek serta menghindari aturan hukum,” ujar Danardi.
Menurut National Institute on Drug Abuse, pada Juli 2012, cathinone sintetis, yaitu pyrovalerone dan mephedrone, dinyatakan sebagai zat ilegal bersama sejumlah zat sintetis lain. Meski UU yang baru ditandatangani Presiden Barack Obama itu melarang zat-zat kimia yang analog dengan zat tersebut, diramalkan para pembuat akan merancang derivat baru yang cukup berbeda untuk menghindari jerat hukum.
Sebagai contoh, saat mephedrone dilarang di Inggris tahun 2010, segera muncul zat kimia disebut naphyrone untuk menggantikannya. Zat itu dijual dengan istilah ”jewelry cleaner” dengan merek Cosmic Blast.
Pemerintah Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara lain.